Nopember 16, 2006
Merger dan Akuisisi Bank Nasional: Realitas dan Tantangan
Diarsipkan di bawah: Ekonomi Makro, Merger, Taktik Manajemen — by adit @ 10:14 pm
Merger dan akuisisi perusahaan perbankan kembali marak terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini. Sukses merger dari bank papan atas seperti Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata telah merangsang bank-bank pada papan menengah seperti Bank Haga dan Bank Hagakita untuk bergabung dengan pihak bank asing Rabobank. Dan terakhir ini kita melihat adanya minat dari bank-bank kecil menengah (Bank Harta, Bank Mitraniaga, Bank Harmoni) untuk melakukan strategi serupa, sebagaimana diuraikan pada artikel Fahmi Achmad pada Bisnis Indonesia 14 Nopember 2006.
Strategi merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk strategi populer, yang awalnya naik daun pada era tahun 1970an.
Proses ini didorong oleh 3 faktor utama:
(a)semakin menyatunya sistem perekonomian regional dan perekonomian dunia,
(b) adanya ekspansi perusahaan2 MNC ke berbagai negara, dan
(c) berbagai terobosan teknologi informasi dan telekomunikasi setelah tahun 1980 yang memudahkan proses alih informasi dan kapital.
Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut.
Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian tertolong dengan dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi “merger dan akuisisi”.
Proses merger dan akuisisi di industri perbankan memang memiliki baik dampak yang positip maupun dampak yang negatip, tergantung dari perspektif kita memandangnya. Keberhasilan upaya merger dan akuisisi memerlukan keuletan dan jalan yang cukup berliku bagi berbagai pihak yang ingin sukses menerapkan kebijakan ini.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung.
Strategi merger dan akuisisi yang terjadi di industri perbankan dapat memberikan dampak langsung pada perusahaan yang melakukan proses merger.
Secara mikroekonomi, penerapan strategi ini ternyata disamping dapat memberikan pengaruh yang positip; dapat juga memberikan rekaman hitam dalam bentuk kekecewaan, konflik dan bahkan kegagalan dari proses itu sendiri. Pada tingkat makro ekonomi, sementara ini strategi merger dan akuisisi belum memberikan dampak positif yang besar.
Pengaruh Mikroekonomi
Begitu dua atau lebih organisasi perbankan melakukan strategi merger maka akan terjadi perubahan tingkah laku dari perusahaan gabungan tersebut.
Dampak positip yang sering dilaporkan adalah:
(1) Dimungkinkannya pertukaran cadangan cash flow secara internal antar perusahaan yang melakukan merger, sehingga bank hasil merger dapat memanage risiko likuiditas dengan lebih fleksibel.
(2) Diperolehnya peningkatan modal perusahaan (biasanya CAR akan meningkat tetapi tidak terlalu cukup tinggi) dan adanya keunggulan dalam memanage biaya akibat bertambahnya skala usaha.Efisiensi perusahaan dapat dilakukan lebih lanjut, khususnya dalam efisiensi biaya provisi kredit.
(3) Dicapainya keunggulan market power dalam persaingan, yang kemudian dapat memperbesar margin bunga pinjaman.
Tetapi proses merger itu sendiri dapat juga memberikan pengaruh negatif berikut ini:
(1) Karena proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk cepat terselesaikannya kemelut keuangan di salah satu bank peserta, maka harga penjualan sahamnya cenderung akan dinilai dibawah harga pasar yang wajar.
(2) Proses merger biasanya diikuti dengan peningkatan ketidakpastian pada pihak Direksi, manajer dan karyawan.
(3) Proses merger perbankan nasional di Indonesia biasanya diikuti dengan pengurangan jumlah pegawai dan staf kurang profesional di perusahaan perbankan hasil merger.
(4) Terjadinya benturan kepentingan, kondisi saling curiga dan bahkan konflik diantara para anggota komisaris dan direksi. Hal ini terjadi jika bank hasil merger tersebut dikuasai oleh lebih satu pemegang saham pengendali. Sebagian anggota komisaris dan direksi yang ada cenderung untuk berlomba mewakili kepentingan masing-masing pemilik dari bank hasil merger dengan menunjukkan prestasi kelompoknya masing-masing.
(5) Kegiatan merger dalam dua tahun pertama cenderung diikuti dengan strategi efisiensi; sehingga hal ini akan mengurangi semangat dan kreativitas dari sebagian pihak Direksi dan staf profesional. Jika hal ini berlanjut cukup lama maka biasanya akan diikuti dengan proses exodus para manager menengah yang profesional dan inovatif.
(6) Benturan budaya perusahaan tidak dapat dielakkan; sehingga tentunya perusahaan hasil merger akan mengalami penurunan dalam jangka pendek.
Pengaruh Makro
Di beberapa negara berkembang lainnya di dunia, strategi merger biasa digunakan untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan Pemerintah pada industri perbankan. Alasannya pelaksanaan strategi ini agar pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dengan dukungan lembaga perbankan yang dikendalikan
Strategi ini ternyata tidak sepenuhnya berhasil, karena yang terjadi adalah mismanajemen dalam pengelolaan organisasi bank merger yang semakin besar, dengan laporan banyaknya kejadian kasus , penunjukan rekanan teman sendiri, inefisiensi penggunaan anggaran promosi dan anggaran pengembangan, serta diketemukannya berbagai kasus korupsi.
Kasus di salah satu bank hasil merger di tanah air, membuktikan sebagian dari dugaan ini. Kurangnya pengawasan dari pihak Dewan Komisaris, yang melimpahkan kewenangan yang lebih besar pada pihak Direksi untuk memutuskan kelayakan kredit usaha pada jumlah yang besar, telah membawa akibat meningkatnya angka NPL bank tersebut.
Dampak negatif terjadi karena tidak transparannya perusahaan merger milik pemerintah yang tidak diawasi sepenuhnya oleh publik.
Pada perspektif yang lain,strategi merger dan akuisisi dipandang sebagai alat untuk memperkuat struktur kapital perbankan secara makro — di lokasi operasi peserta bank merger.
Tujuan ini dilaksanakan agar tercapai proses penguatan landasan keuangan perbankan nasional menuju konvergensi.
Dalam kaitan ini Bank Indonesia beberapa tahun terakhir telah merubah kebijakan publiknya untuk mengundang partisipasi asing dalam proses merger bank-bank nasional di Indonesia – sehingga diharapkan akan tercapai arsitektur pengaturan kapitalisasi perbankan secara bentuk “kerucut piramida”. Kebijakan ini tentunya perlu dilakukan secara hati-hati, dan bahkan jika perlu dikaji ulang, mengingat bukti-bukti empiris yang belum mendukung sepenuhnya dugaan tersebut.
Internasionalisasi kepemilikan asing dalam arsitektur perbankan nasional memiliki potensi yang akan memberikan dampak negatip pada perekonomian nasional, mengingat beberapa potensi ancaman berikut ini:
(1) Kemungkinan timbulnya kesenjangan antara proses akumulasi dana pihak ketiga dan proses penyalurannya untuk kepentingan perekonomian lokal dan nasional.
(2) Kurangnya partisipasi bank asing dalam pendanaan kegiatan usaha berskala besar di tanah air, seperti pendanaan program pembangunan infrastuktur, mengingat perhitungan managemen resiko yang sangat ketat yang mereka jalankan.
(3) Pada saat kondisi politik di dalam negeri menghadapi skenario kemelut dan krisis, maka cadangan bank-bank asing di Indonesia akan terjadi.
(4) Bank asing akan memindahkan sementara waktu dana yang terhimpun di dalam negeri ke anak-anak perusahaan holding yang lokasinya terdekat, seperti di Singapura dan Hongkong.
(5) Tingkat multiplier penyerapan tenaga kerja di bank milik asing akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan angka-angka multiplier pada perusahaan perbankan milik swasta domestik dan perusahaan BUMN.
Atas dasar kondisi tersebut dan kemungkinan rapuhnya peta politik di dalam negeri pada tahun-tahun mendatang, maka seharusnya Pemerintah meninjau kembali aturan tentang kepemilikan asing dalam industri perbankan nasional.
Kebijakan membatasi porsi kepemilikan asing dalam perbankan nasional di tanah air merupakan strategi kebijakan tambahan untuk terlaksananya proses merger secara aman di Indonesia.
Kunci Sukses
Strategi merger dan akuisisi dapat berjalan sukses apabila memenuhi persyaratan berikut:
(1) Dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki oleh bank peserta biasanya menyebabkan kegagalan proses merger dan akuisisi.
(2) Bank peserta perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh bertolak belakang.
(3) Bank peserta memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu menyelesaikan konflik-konflik secara cepat, bijak dan arif; serta tidak bersifat otoriter.
(4) Bank peserta memiliki visi dan misi yang dapat dijalankan oleh bank yang telah digabung. Lebih baik lagi jika pada masing-masing bank memiliki kemiripan fokus bisnis
(5) Proses implementasi pasca merger perlu dilakukan dengan melakukan proses harmonisasi produk dan layanan baru, pemantapan dedikasi karyawan dan pembentukan platform dan sistem prosedur yang seragam dan efisien.
Proses stabilisasi setelah merger akan memakan waktu cukup lama sekitar 2-3 tahun, dan biarkanlah proses tersebut dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa cepat-sepat melakukan proses divestasi lanjutan. (copyright@aditiawan chandra)
Rabu, 22 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya sangat tertarik, dengan artikel saudara...
BalasHapussaat ini saya sedang mencoba menguji apakah benar akuisisi berpengaruh signifikan thd performa perushaan baru....
caba kita temukan faktor apa saja yang mempengaruhi signifikansinya
trima kasih banyak